Minggu, 11 September 2011

PADI


A. Mutunasi Padi

Upaya mempertahankan swasembada beras perlu diikuti oleh pengkinian komponen teknologi yang menunjang produktivitas padi. Varietas unggul, pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan tiga diantara komponen penting dalam budidaya suatu tanaman. 
Penggunaan varietas padi unggul merupakan paket teknologi yang paling murah dibanding komponen teknologi lainnya. Selain itu, penggunaan varietas padi yang berdaya hasil tinggi, tahan atau toleran terhadap OPT tertentu, toleran cekaman lingkungan, dan cocok untuk ekoregional tertentu dapat menjamin hasil padi yang tinggi. Itu sebabnya penelitian untuk menghasilkan varietas padi unggul baru senantiasa mendapaat prioritas penting. Mutunasi mendapat perhatian yang lebih besar, mengingat banyak varietas unggul yang tidak dapat berkembang karena mutunya dinilai kurang sesuai dengan selera konsumen.

B. Perbaikan Varietas
        
Dalam lima tahun terakhir, enam varietas unggul padi sawah dan lima varietas padi gogo telah dilepas. Dua diantaranya, Memberamo dan Cibodas yang dilepas tahun 1995, diharapkan dapat menggantikan IR64 dan Cisadane yang telah ditanam secara luas. Kedua varietas ini memiliki mutu nasi baik, berumur geniah dan berdaya hasil tinggi. 
Perbaikan varietas padi dengan teknik pemuliaan tanaman konvensional telah mencapai tingkat yang  tampaknya sulit untuk dikembangkan lebih lanjut bila tidak didukung oleh teknik baru. Untuk memperbaiki rasa nasi, persilangan antara padi aromatik (subspesies Javanika) yang mempunyai citra rasa baik dan beraroma wangi dilakukan dengan padi subspesies Indika yang berdaya hasil tinggi. Namun, persilangan secara konvensional antara dua subspesies padi ini sering gagal, karena tingginya derajat sterilitas pada hasil silangan dan terjadinya segregasi pada keturunan F2 atau selanjutnya.
    
Kultur antera merupakan salah satu teknik bioteknologi yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan ini dan mempercepat proses seleksi dalam pemuliaan tanaman. Teknik ini lebih efisien dan lebih cepat menghasilkan tanaman haploid ganda yang bersifat homozigot fertil, yang bila dilakukan dengan teknik pemuliaan konvensional akan memerlukan beberapa generasi. Tanaman haploid ganda digunakan sebagai bahan pemuliaan tanaman padi.
    
Di samping itu, pemuliaan tanaman padi juga diarahkan pada perakitan tanaman padi ideal yang diharapkan mampu meningkatkan hasil padi di masa mendatang. Ciri-ciri tanaman padi ideal antara lain :
a. Jumlah anakan produktif yang sedikit
b. Butir gabah lebih dari 300 per malai
c. Malai panjang
d. Batang kokoh
e. Perakaran dalam

C. Pemupukan
        
Penggunaan pupuk untuk tanaman pangan meningkat, dari 0,4 juta ton pada Pelita I menjadi 5,3 juta ton pada Pelita V. Kenaikan yang tajam ini disebabkan oleh semakin luasnya areal intensifikasi padi dan bertambahnya takaran pupuk per satuan luas. Namun kenaikan konsumsi pupuk ini tidak diimbangi oleh kenaikan hasil.
  
Penelitian untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk telah dilakukan sejak tahun 1980-an. Efisiensi pemupukan dapat diperoleh antara lain dari :
a. Penggunaan bahan organik
b. Pengelolaan tanah dan air
c. Perbaikan teknik aplikasi dan formulasi pupuk
d. Penerapan usahatani minapadi-azola
e. Penggunaan pupuk Fosfat yang bereaksi lambat seperti halnya Fosfat alam
f. Penambahan unsur hara secara hayati
Pada skala nasional, berkurangnya penggunaan pupuk berarti berkurangnya subsidi pupuk yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, meningkatnya pendapatan petani dan lestarinya lingkungan.

D. Hama dan penyakit
        
Dalam konsep ketahanan pahan berkelanjutan, selain cara dan teknik menanam padi yang perlu kita pelajari, hama dan penyakit yang menyerang suatu tanaman juga penting untuk diketahui, sehingga kita dapat mengambil langkah yang tepat untuk menanggulanginya. Berikut beberapa hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi, yaitu :

1. Wereng Coklat
Hama wereng coklat masih menjadi masalah utama di daerah penghasil padi. Dengan sifat genetik wereng coklat (Nilaparvata lugens) yang lentur, tekanan ekologis dalam bentuk vatietas lahan telah mendorong timbulnya biotipe baru. Sementara itu, tekanan ekologis dalam bentuk insektisida memicu resurjensi dan resistensi wereng coklat terhadap beberapa jenis insektisida.
         
Pengendalian wereng coklat melalui pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) masih perlu disempurnakan dengan memeprhatikan agroekosistem dan sosio-ekonomi setempat. Selama ini, pengendalian wereng coklat bertumpu pada penggunaan varietas lahan, pergiliran varietas padi, waktu tanam yang tepat, pemanfaatan musuh alami dan insektisida dengan memperhatikan keadaan musuh alami.
       
Pergiliran varietas memegang peranan sangat penting dalam pengendalian wereng coklat. Di musim kemarau, petani dapat menanam varietas apa saja yang diminati, tetapi di musim hujan pergiliran varietas sebaiknya dilakukan berdasarkan biotipe wereng coklat yang dominan. Dalam pemilihan varietas padi, umur tanamannya perlu dipertimbangkan, sehingga tidak mengganggu pola tanam pada suatu lahan.
       
Peran musuh alami sangat penting untuk mencegah meningkatnya populasi wereng coklat generasi pertama atau pada tingkat populasi agak rendah. Beberapa pemangsa (predator) yang diketahui berperan dalam menekan populasi wereng coklat adalah laba-laba (Lycosa sp.) dan Cyrtorhinus sp.
       
Patogen yang berpotensi untuk mengendalikan wereng coklat adalah jamur Hirsutella citriformis. Wereng coklat yang terinfeksi secara alami oleh jamur ini di lapangan mencapai 25%. Jamur ini banyak di temukan di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, terutama pada fase akhir pertumbuhan tanaman padi.
      
Penelitian komposisi media yang cocok untuk pembiakan masal H.citriformis dan teknik pemanfaatan patogen ini dilaksanakan bekerjasama dengan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Pertanian. Uji lapangan menunjukkan bahwa H.citriformis dengan takaran 1liter/ha mampu menurunkan populasi wereng coklat sebesar 35%.
  
2. Penggerek Batang
Di antara enam spesies, penggerek batang padi putih (PBPP), Scirpophaga innotata, mempunyai perilaku sangat berbeda. Pengendalian dengan teknik budidaya (misalnya pengolahan tanah) sulit diterapkan karena jadwal pengairan yang tetap. Demikian pula pengambilan kelompok telur dan penangkapan ngengat dengan lampu perangkap kurang efektif dan kuran efisien.
         
Salah satu pengendalian yang mempunyai prospek baik adalah perangkap dengan feromon seks buatan. Selain untuk memantau populasi ngengat, perangkap ini juga dapat digunakan untuk pengendalian ngengat secara masal.
       
Feromon seks PBPP telah diteliti dalam kerjasama dengan University of Wales dan Natural Resources Institute (Inggris). Feromon seks (Z)-11-octadecenal (Z11:18CHO) dengan takaran 40gr/ha mengganggu kopulasi serangga sampai 98% dan menurunkan tingkat serangan sampai 50-70%. Wadah air sebaiknya berwarna kuning dan berbentuk bujur sangkar (sisi 10-20 cm) atau lingkaran (garis tengah 10-20 cm) dengan jumlah wadah 100/ha. Sebagai media, larutan deterjen yang diberi minyak sayur atau oli dapat digunakan.

3. Hawar Daun Bakteri
  
Hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu penyakit utama pada padi sawah di Indonesia . Penyakit yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (XOO) ini menyerang tanaman padi mulai dari fase pembibitan hingga tanaman tua. Kerusakan yang ditimbulkannya terus meningkat dengan meluasnya penanaman IR64 yang rentan terhadap penyakit ini.
           
Varietas padi yang tahan HDB pada kenyataannya sering tidak dapat bertahan lama di lapangan karena tingginya keragaman genetik patogen. Identifikasi strain XOO dengan varietas diferensial tidak dapat mengetahui identitas gen ketahanan pada inang dan gen virulensi pada patogen yang berperan dalam mengatur interaksi varietas padi dan strain XOO. Oleh karena itu, identifikasi strain XOO menggunakan galur isogenik sebagai varietas diferensial. Pemahaman keragaman genetik dan struktur populasi patogen penyakit ini juga dapat dilakukan menggunakan antibodi monoklonal.
          
Galur isogenik asal IRRI (International Rice Research Institute) yang mempunyai gen ketahanan Xa-5, Xa-7, dan Xa-21 cukup efektif menekan serangan HDB di Indonesia. Dengan begitu, varietas baru dapat dikembangkan dengan komposisi gen ketahanan tersebut. Suatu varietas padi baru dapat direkomendasikan untuk ditanam bila strain XOO yang dominan di daerah itu  telah diketahui.

E. Tanam Benih Langsung
         
Sistem tanam benih langsung (tabela) sangat sesuai untuk mempersingkat masa tanam dan meningkatkan efisiensi tenaga tanam di daerah yang kekurangan tenaga kerja. Dengan teknik ini, lahan dipersiapkan lebih awal dalam keadaan kering, kemudian dilumpurkan begitu tersedia air, diikuti dengan sebar benih. Benih dapat disebar merata atau disebar dalam larikan. Selain itu, cara tanam tabela-legowo 2:1 (dua baris ditanami, satu baris kosong) juga memberikan harapan, terutama dalam tahap kegiatan produksi (misal tanam, penyiangan, pemupukan) dan pengurangan kebutuhan akan pupuk dan benih.
  
Bila dibandingkan dengan cara tanam berpindah, tabela dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja 9-21% dan meningkatkan pendapatan bersih 5-8%. Adanya lorong-lorong pada tabela-legowo (2:1) yang tidak ditanami juga menghemat urea tablet dan benih sepertiga bagian dibandingkan dengan cara tanam non-legowo. Jarak peletakan pupuk 30 cm dengan 3 butir urea per lubang memudahkan pemupukan di lapangan, karena selaras dengan ayunan langkah berjalan di antara barisan tanaman.

F. Tanam Padi Semai kering
         
Sebagian besar sawah tadah hujan yang mencapai luasan 2,2 juta hektar atau 26% dari luas total lahan sawah berada pada daerah bercurah hujan terbatas, dengan hanya 3-4 bulan basah. Di daerah ini, petani biasanya harus menunggu curah hujan mencapai 200-300 mm/bulan sebelum dapat memulai kegiatan persemaian.
  
Untuk lebih memanfaatkan curah hujan yang terbatas, saat tanam padi dapat dimajukan dengan mengubah cara tanam padi yang biasa dipraktekkan, yakni semai basah menjadi sistem semai kering. Pada sistem semai kering, lokasi persemaian dipilih di dekat sumber air (seperti sumur) untuk memudahkan penyiraman.
  
Padi semai kering ditanam sekitar satu minggu lebih lambat daripada padi gogo rancah, tetapi tiga minggu lebih awal daripada saat tanam padi dengan semai basah. Pengolahan tanah dilakukan pada saat kondisi tanah mulai lembab, tetapi belum menggenang.
    
Cara tanam padi semai kering dapat diterapkan di daerah dengan jenis tanah berat atau di mana tenaga kerja terbatas. Pada daerah seperti ini, sistem tanam gogo rancah dinilai terlalu berat, karena memerlukan banyak tenaga dan waktu, terutama untuk pengolahan tanah dan penyiangan.
    
Hasil penelitian di Sumbawa tahun 1992-1994 menunjukkan bahwa persemaian kering yang disertai dengan perbaikan teknik budidaya mampu memberikan hasil gabah dan biji padi yang lebih tinggi daripada cara tradisional petani.       

0 komentar:

Posting Komentar