Minggu, 11 September 2011

TANAMAN PERKEBUNAN


A. Kelapa 


Kelapa dikenal sebagai tanaman serbaguna karena hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Kemampuan petani kelapa masih terbatas sehingga peningkatan luas usahatani tidak selalu diikuti oleh peningkatan pendapatan. Nilai ekonomi kelapa dapat ditingkatkan melalui penganekaragaman produk dan usahatani.





1. Usaha tani Berbasis Kelapa
        
Luas areal pertanaman kelapa di Indonesia dewasa ini sekitar 3,4 juta ha, sebagian besar (97%) merupakan perkebunan rakyat dengan luas pemilikan yang beragam dan kemmpuan pengusahaan yang kurang memadai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani kelapa adalah pengaturan tata ruang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala usahatani kelapa untuk satu keluarga petani adalah 2,32 ha untuk sistem monokultur, 0,79 ha untuk sistem tumpangsari, dan 0,77 ha untuk pengolahan gula kelapa.

2. Kelapa Kopyor
        
Kelapa kopyor memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi tapi buahnya langka. Sifat kopyor dari kelapa ini dibawakan oleh gen resesif yang hanya muncul apabila berpasangan dengan gen resesif lain. Secara konvensional, kelapa kopyor tidak dapat berkecambah karena daging buahnya (cadangan makanan) cepat rusak. Melalui teknologi kultur embrio, peneliti telah berhasil merakit kelapa kopyor yang memiliki pasangan gen resesif. Sebagian pohon induk kelapa kopyor hasil kultur embrio tersebut sudah menghasilkan buah yang memiliki sifat kopyor.

3. Busuk Pucuk dan Gugur Buah    
        
Penyakit busuk pucuk dan gugur buah merupakan penyakit penting kelapa karena berpengaruh langsung pada produksi. Penyakit ini sulit dikendlikan. Penghindarannya memerlukan deteksi dini inokulum patogen penyebab penyakit.

Isolat yang berasal dari tanaman kelapa sakit karena Phytophthora palmivora potensial digunakan sebagai bahan pembuat preparat antigen untuk deteksi dini penyakit busuk pucuk. Untuk pengendalian secara hayati, peneliti telah menemukan lima jenis cendawan dan satu bakteri ynag bersifat antagonis terhadap Phytophthora, penyebab penyakit busuk pucuk dan gugur buah.

B. Karet
      

Efisiensi produksi terus diupayakan, antara lain melalui peningkatan hasil, penekanan biaya pengolahan, dan peningkatan efektivitas pemeliharaan. Di samping itu, masalah mutu selalu mendapat prioritas dalam program penelitian karet.

1. Lateks Berkadar Protein Randah
       
Pemakai barang lateks yang sudah jadi dapat terkena alergi karena protein alergen lateks. Penurunan kadar extractable protein (EP) dalam lateks pekat dapat dilakukan melalui penggunaan basa kuat pemercepat penguraian protein lateks, pemakaian surfaktan dan enzim untuk melepaskan protein di permukaan partikel karet, serta pendadihan dan sentrifugasi bertingkat untuk membuang protein yang masuk dalam serum lateks. Teknik-teknik itu dapat menurunkan kadar EP hingga 78% dibanding kandungan EP lateks pekat yang diolah secara konvensional. Sekalipun demikian, waktu kemantapan mekanik (MST) lateks pekat berkadar protein rendah yang dihasilkan masih rendah, sehingga sebelum diterapkan dalam skala komersial, teknologi ini masih pelu dikembangkan. Penelitian lebih lanjut diarahkan untuk mendapatkan sistem yang dapat meningkatkan waktu kemantapan mekanik lateks pekat berprotein rendah tersebut.

2. Batubara untuk Pengeringan
        
Dalam pengenbangan batubara sebagai sumber energi alternatif, para peneliti telah merancang bangun prototipe pengering skala praktek cara pemanasan langsung (direct firing) dengan briket batubara. ADS (Air Dried Sheet), RSS (Rubber Smoked Sheet) dan krep yang dikeringkan dengan sistem ini mempunyai tendensi pertumbuhan kapang, sifat matang dan sifat fisik yang tidak berbeda dengan hasil pengeringan konvensional. Biaya bahan bakarnya pun lebih murah. Tungku kisi untuk pembakaran  briket batubara tidak berbeda dengan biasa yang dipakai di perkebunan untuk pengeringan RSS, hanya bentuknya yang perlu disesuaikan. Dengan bahan perekayasaan setempat, petani dapat membuat tungku kisi dan ruang pengering tersbut.

3. Deteksi Dini TPD
        
Taping Panel Dryness (TPD) adalah gangguan fisiologis yang menyebabkan tanaman tidak memproduksi lateks. Di Indonesia, kerugian akibat TPD tidak kurang dari 140 miliar/tahun. Penelitian selama dua tahun telah memberikan penanda dini gejala serangan TPD yang berupa penurunan kadar sukrosa, kecepatan aliran dan indeks penyumbatan lateks serta penurunan kadar Pi. Protein spesifik penanda TPD serta antibodi poliklonal anti TPD telah pula diperoleh. Teknik penanggulangan TPD dengan bark scrapping sangat efektif. Teknik ini telah terbukti dapat menyembuhkan pohon yang terserang TPD dengan intensitas 90% serta memulihkan hasil lateks setara dengan hasil pohon sehat.


C. Kelapa Sawit
Sebagai penghasil devisa, posisi kelapa sawit perlu dimantapkan antara lain melalui peningkatan daya hasil. Saat ini telah ada sejumlah klon dengan hasil 30-41 ton TBS/ha pada umur enam tahun. Peningkatan hasil ini idealnya diikuti penekanan biaya produksi melalui minimalisasi kehilangan hasil. Upaya menghindari pencemaran lingkungan dan peningkatan nilai tambah juga penting.    
 



1. Bahan Tanaman Unggul
       
Seleksi daur ulang timbal balik (reciprocal recurrent selection) yang dlakukan Badan Litbang Pertanian bersama Institut de Recherches pour les Huiles et Oleagineux (IRHO) telah memasuki daur ketiga. Tahap ini diharapkan dapat menghasilkan genitor terbaik dengan daya hasil 10-15% lebih tinggi dibanding genitor dari daur kedua. Produksi rata-rata pada umur 6 tahun progeni daur kedua yang ditanam di Kebun Marihat berkisar 30-41 ton TBS/ha.
    
Untuk memproduksi hibrida unggul dalam jumlah banyak clonal seed garden telah dibangun dengan memperbanyak tetua Dura dan Pisifera secara vegetatif. Melalui persilangan buatan, bioclonal hybrid seeds dapat dihasilkan. Hibrida ini tumbuh lebih seragam dibanding hibrida konvensional. Dari pemilihan pendahuluan, 53 tetua Dura dan 24 Pisifera telah diperoleh.
    
Untuk kumulaif 4 tahun pertama panen, klon hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa tempat pada kerapatan 135 pohon/ha memberikan hasil 27,8% lebih tinggi daripada semaian hibrida.

2. Feromon Oryctes rhinoceros

Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pertanaman kelapa sawit muda, terutama pertanaman ulang di areal yang sebelumnya terserang berat penyakit busuk pangkal batang. Jika terserang berat, tanaman dapat mati. Jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman menurun, bahkan saat awal produksinya tertunda.
   
Pengendalian biasanya dilakukan dengan pengutipan kumbang setiap hari atau aplikasi insektisida setiap minggu. Biaya operasional teknik ini sangat tinggi. Sebagai alternatif, day tarik ethyl 4-methyloctanoate, komponen utama feromon O. Rhinoceros, terhadap kumbang ini telah diuji. Uji menggunakan perangkap berupa ember plastik bervolume 10 liter. Tutup ember dilubangi pada bagian tengahnya dan diletakkan terbalik di atas ember. Kantung yang berisi senyawa feromon ethyl 4-methyloctanoate digantungkan di dalam ember dekat lubang pada tutup. Kantung tersebut terbuat dari plastik khusus berukuran 30 cm x 26 cm yang melepaskan feromon secara perlahan. Untuk satu hektar tanaman, cara manual memerlukan biaya 96.000/bulan sedangkan dengan feromon hanya 15.600/bulan.

3. Kertas dari Tandan Kosong Sawit
       
Tandan Kosong Sawit (TKS) yang jumlahnya berlimpah adalah limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan baku kertas seperti halnya ampas tebu dan jerami. Penggunaan TKS untuk produksi pulp juga dapat menghemat penggunaan kayu tropis serta menunjang penumbuhan industri yang ramah lingkungan.
   
Badan Litbang Pertanian telah berhasil memproduksi kertas cetak dalam skala pilot dari campuran 78% pulp TKS dan 28% pulp Pinus merkusii. Serat panjang pulp P. Merkusii memperbaiki kekuatan kertas dan kelancaran jalannya mesin pembuat kertas, sedangkan serat pendek pulp TKS memperbaiki formasi serat kertas.
    
Dalam kaitan dengan upaya membuat pulp secara efisien dan aman terhadap lingkungan, penggunaan mikroba lignoselulitik yang mampu mendegradasi senyawa lignin dan/atau selulosa dapat dipertimbangkan. Misalnya, dalam penelitian, bakteri Cytophaga sp. dan fungi Trichoderma pseudokoningii dapat mempercepat dekomposisi TKS dan memperbaiki kenampakan fisik lembaran pulp.

4. Deteksi Serangan Ganoderma sp.
        
Kerugian yang disebabkan serangan Ganoderma sp. pada areal seluas 1,4 juta ha saat ini dapat mencapai Rp 560.000.000,00. Pengendalian penyakit ini sulit dilakukan karena serangannya sulit dideteksi secara dini.

Suatu perangkat diagnosis penyakit busuk pangkal batang telah dikembangkan menggunakan filtrat hasil pencucian kultur miselium sebagai antigen, dan menghasilkan satu poliklonal dan sebelas monoklonal antibodi. Poliklonal yang diperoleh dapat bereaksi silang dengan bahan antigenetik dari filtrat pencucian kultur miselium, tetapi tidak dengan filtrat pencucian jaringan badan buah dan spora Ganoderma sp. Spesifitas antibodi akan ditingkatkan melalui penggunaan antigen dari jaringan badan buah dan spora cendawan Ganoderma serta metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman segera setelah infeksi. Hasil penelitian ini dapat menghindarkan kerugian yang bisa mencapai Rp 800.000.000,00/tahun.

0 komentar:

Posting Komentar